Aqiqah Setelah Dewasa
Pendapat Imam an-Nawawi.
‘Aqiqah tidak luput jika lewat dari tujuh hari, tapi sebaiknya tidak ditunda hingga baligh. Abu Abdillah al-Busyanji dari kalangan ulama mazhab Syafi'i berkata, “Jika tidak disembelihkan pada hari ketujuh, maka disembelihkan pada hari ke-empat belas, jika tidak, maka disembelihkan pada hari ke-dua puluh satu”. Ada pendapat yang menyebutkan bahwa jika tujuh hari itu telah berulang tiga kali, maka habislah waktu pilihan. Jika tidak dilaksanakan hingga baligh, maka hukumnya gugur. Anak tersebut memilih untuk mengadiqahkan dirinya sendiri. Imam al-Qaffal dan Imam asy-Syasyi menganggapnya baik. Diriwayatkan dari Rasulullah Saw bahwa beliau mengadiqahkan dirinya sendiri setelah menjadi nabi. Mereka riwayatkan nashnya dalam kitab al-Buwaithi bahwa Rasulullah Saw tidak melakukan itu, mereka menganggapnya aneh. Saya (Imam an-Nawawi) katakan, “Saya telah melihat nashnya dalam kitab al-Buwaithi yang sama, ia berkata, “Orang yang telah dewasa tidak adiqah”, seperti ini bunyi teksnya, tidak bertentangan dengan keterangan di atas, karena maknanya: Orang yang telah dewasa tidak mengadiqahkan orang lain. Dalam teks ini tidak terdapat penafian bahwa seseorang boleh mengadiqahkan dirinya sendiri”. Wallahu a'lam”. Pendapat Syekh Ibnu Baz.
Pertama, dianjurkan mengadiqahkan diri sendiri, karena adiqah itu sunnah mu'akkadah dan seorang anak tergadai dengan aqiqahnya. Kedua, tidak ada aqiqah baginya, tidak disyariatkan baginya adiqah, karena aqiqah itu sunnah pada tanggung jawab bapaknya. * Imam an-Nawawi, Raudhat ath-Thalibin wa 'Umdat al-Muftin, juz.III (al-Maktab al-Islamy, 1405H), hal.229.
Ketiga, ia boleh mengaqiqahkan dirinya sendiri, tapi tidak dianjurkan. Karena hadits-hadits yang ada tentang aqiqah ditujukan kepada orang tua. Tapi seseorang boleh mengaqiqahkan dirinya sendiri, untuk lebih berhati-hati, juga karena aqiqah itu ibadah mendekatkan diri kepada Allah Swt, berbuat baik untuk anak dan melepaskan ikatan gadai anak, maka disyariatkan bagi seorang bapak mengaqiqahkan anak, seorang ibu mengaqiqahkan anaknya, juga kerabat selain kedua orang tua. Allah Penolong (memberikan) taufiq. Berdasarkan pendapat di atas maka boleh hukumnya seseorang meng-aqiqah-kan dirinya sendiri setelah dewasa. Terlebih lagi ada hadits yang mengatakan, Rasulullah Saw meng-aqiqah-kan dirinya setelah ia diutus menjadi nabi. Hadits ini diyatakan shahih oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah258. 257 Majmu’ Fatawa Ibn Baz, juz.XXVI, hal.267. 258 Syekh al-Albani, as-Silsilah ash-Shahihah, Juz.VI (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif), hal.229.
Aqiqah Setelah Dewasa Edit
Aqiqah Setelah Dewasa
Pendapat Imam an-Nawawi.
‘Aqiqah tidak luput jika lewat dari tujuh hari, tapi sebaiknya tidak ditunda hingga baligh. Abu Abdillah al-Busyanji dari kalangan ulama mazhab Syafi'i berkata, “Jika tidak disembelihkan pada hari ketujuh, maka disembelihkan pada hari ke-empat belas, jika tidak, maka disembelihkan pada hari ke-dua puluh satu”. Ada pendapat yang menyebutkan bahwa jika tujuh hari itu telah berulang tiga kali, maka habislah waktu pilihan. Jika tidak dilaksanakan hingga baligh, maka hukumnya gugur. Anak tersebut memilih untuk mengadiqahkan dirinya sendiri. Imam al-Qaffal dan Imam asy-Syasyi menganggapnya baik. Diriwayatkan dari Rasulullah Saw bahwa beliau mengadiqahkan dirinya sendiri setelah menjadi nabi. Mereka riwayatkan nashnya dalam kitab al-Buwaithi bahwa Rasulullah Saw tidak melakukan itu, mereka menganggapnya aneh. Saya (Imam an-Nawawi) katakan, “Saya telah melihat nashnya dalam kitab al-Buwaithi yang sama, ia berkata, “Orang yang telah dewasa tidak adiqah”, seperti ini bunyi teksnya, tidak bertentangan dengan keterangan di atas, karena maknanya: Orang yang telah dewasa tidak mengadiqahkan orang lain. Dalam teks ini tidak terdapat penafian bahwa seseorang boleh mengadiqahkan dirinya sendiri”. Wallahu a'lam”. Pendapat Syekh Ibnu Baz.
Pertama, dianjurkan mengadiqahkan diri sendiri, karena adiqah itu sunnah mu'akkadah dan seorang anak tergadai dengan aqiqahnya. Kedua, tidak ada aqiqah baginya, tidak disyariatkan baginya adiqah, karena aqiqah itu sunnah pada tanggung jawab bapaknya. * Imam an-Nawawi, Raudhat ath-Thalibin wa 'Umdat al-Muftin, juz.III (al-Maktab al-Islamy, 1405H), hal.229.
Ketiga, ia boleh mengaqiqahkan dirinya sendiri, tapi tidak dianjurkan. Karena hadits-hadits yang ada tentang aqiqah ditujukan kepada orang tua. Tapi seseorang boleh mengaqiqahkan dirinya sendiri, untuk lebih berhati-hati, juga karena aqiqah itu ibadah mendekatkan diri kepada Allah Swt, berbuat baik untuk anak dan melepaskan ikatan gadai anak, maka disyariatkan bagi seorang bapak mengaqiqahkan anak, seorang ibu mengaqiqahkan anaknya, juga kerabat selain kedua orang tua. Allah Penolong (memberikan) taufiq. Berdasarkan pendapat di atas maka boleh hukumnya seseorang meng-aqiqah-kan dirinya sendiri setelah dewasa. Terlebih lagi ada hadits yang mengatakan, Rasulullah Saw meng-aqiqah-kan dirinya setelah ia diutus menjadi nabi. Hadits ini diyatakan shahih oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah258. 257 Majmu’ Fatawa Ibn Baz, juz.XXVI, hal.267. 258 Syekh al-Albani, as-Silsilah ash-Shahihah, Juz.VI (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif), hal.229.
Pendapat Imam an-Nawawi.
‘Aqiqah tidak luput jika lewat dari tujuh hari, tapi sebaiknya tidak ditunda hingga baligh. Abu Abdillah al-Busyanji dari kalangan ulama mazhab Syafi'i berkata, “Jika tidak disembelihkan pada hari ketujuh, maka disembelihkan pada hari ke-empat belas, jika tidak, maka disembelihkan pada hari ke-dua puluh satu”. Ada pendapat yang menyebutkan bahwa jika tujuh hari itu telah berulang tiga kali, maka habislah waktu pilihan. Jika tidak dilaksanakan hingga baligh, maka hukumnya gugur. Anak tersebut memilih untuk mengadiqahkan dirinya sendiri. Imam al-Qaffal dan Imam asy-Syasyi menganggapnya baik. Diriwayatkan dari Rasulullah Saw bahwa beliau mengadiqahkan dirinya sendiri setelah menjadi nabi. Mereka riwayatkan nashnya dalam kitab al-Buwaithi bahwa Rasulullah Saw tidak melakukan itu, mereka menganggapnya aneh. Saya (Imam an-Nawawi) katakan, “Saya telah melihat nashnya dalam kitab al-Buwaithi yang sama, ia berkata, “Orang yang telah dewasa tidak adiqah”, seperti ini bunyi teksnya, tidak bertentangan dengan keterangan di atas, karena maknanya: Orang yang telah dewasa tidak mengadiqahkan orang lain. Dalam teks ini tidak terdapat penafian bahwa seseorang boleh mengadiqahkan dirinya sendiri”. Wallahu a'lam”. Pendapat Syekh Ibnu Baz.
Pertama, dianjurkan mengadiqahkan diri sendiri, karena adiqah itu sunnah mu'akkadah dan seorang anak tergadai dengan aqiqahnya. Kedua, tidak ada aqiqah baginya, tidak disyariatkan baginya adiqah, karena aqiqah itu sunnah pada tanggung jawab bapaknya. * Imam an-Nawawi, Raudhat ath-Thalibin wa 'Umdat al-Muftin, juz.III (al-Maktab al-Islamy, 1405H), hal.229.
Ketiga, ia boleh mengaqiqahkan dirinya sendiri, tapi tidak dianjurkan. Karena hadits-hadits yang ada tentang aqiqah ditujukan kepada orang tua. Tapi seseorang boleh mengaqiqahkan dirinya sendiri, untuk lebih berhati-hati, juga karena aqiqah itu ibadah mendekatkan diri kepada Allah Swt, berbuat baik untuk anak dan melepaskan ikatan gadai anak, maka disyariatkan bagi seorang bapak mengaqiqahkan anak, seorang ibu mengaqiqahkan anaknya, juga kerabat selain kedua orang tua. Allah Penolong (memberikan) taufiq. Berdasarkan pendapat di atas maka boleh hukumnya seseorang meng-aqiqah-kan dirinya sendiri setelah dewasa. Terlebih lagi ada hadits yang mengatakan, Rasulullah Saw meng-aqiqah-kan dirinya setelah ia diutus menjadi nabi. Hadits ini diyatakan shahih oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah258. 257 Majmu’ Fatawa Ibn Baz, juz.XXVI, hal.267. 258 Syekh al-Albani, as-Silsilah ash-Shahihah, Juz.VI (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif), hal.229.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.