Hukum Arisan Qurban
Mengadakan arisan dalam rangka berqurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk qurban. Karena hakekat arisan adalah hutang. Sebagian ulama menganjurkan untuk berqurban meskipun harus hutang. Di antaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dinukil oleh Ibn Katsir dari Sufyan At Tsauri (Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj:36). Sufyan At Tsauri rahimahullah
mengatakan: ”Dulu Abu Hatim pernah berhutang untuk membeli unta qurban. Beliau ditanya: ”Kamu berhutang untuk beli unta qurban?” beliau jawab: ”Saya mendengar Allah berfirman:
لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ
Kamu memperoleh kebaikan yang banyak pada unta-unta qurban tersebut (QS: Al Hajj:36).
(simak Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36)
Demikian pula Imam Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau menyarankan agar berhutang dalam rangka menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah kelahiran.
Salah satu putra Imam Ahmad, yang bernama Saleh, pernah bertanya kepada beliau, ”Ada seseorang yang anaknya baru lahir, namun dia tidak memiliki dana untuk aqiqah. Mana yang lebih baik menurut Ayah: berutang untuk aqiqah, atau mengakhirkan aqiqahnya sampai dia memiliki kemudahan untuk melaksanakannya?”
Jawaban Imam Ahmad,
أشد ما سمعنا في العقيقة حديث الحسن عن سمرة عنه عليه الصلاة والسلام: (كل غلام مرتهن بعقيقته) وإني لأرجو إن استقرض أن يعجل له الخلف لأنه أحيا سنة من سننه عليه الصلاة والسلام واتبع ما جاء عنه
”Hadits yang paling tegas dalam hal ini adalah hadits tentang Al-Hasan dari Samurah radhiallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ’Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya.’ Saya berharap, jika dia berhutang (untuk aqiqah), agar Allah segera menggantinya, karena dia menghidupkan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti ajaran yang beliau bawa.” (Tuhfatul Maudud, hlm. 64)
Sebagian ulama lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban. Di antaranya adalah Syaikh Ibn Utsaimin dan ulama tim fatwa islamweb.net dibawah bimbingan Dr. Abdullah Al Faqih (simak Fatwa Syabakah Islamiyah no. 7198 dan 28826). Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: ”Jika orang punya hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban.” (Syarhul Mumti’ 7/455).
Bahkan Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak jadi qurban karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang terlilit hutang, dan beliau jawab: ”Jika dihadapkan dua permasalahan antara berqurban atau melunaskan hutang orang faqir maka lebih utama melunasi hutang, lebih-lebih jika orang yang sedang terlilit hutang tersebut adalah kerabat dekat”. (simak Majmu’ fatawa & risalah Ibn Utsaimin 18/144).
Namun pernyataan-pernyataan ulama di atas tidaklah saling bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh perbedaan dalam memandang keadaan orang yang berhutang. Sikap ulama yang menyarankan untuk berhutang ketika qurban dipahami untuk orang yang keadaanya mudah dalam melunasi hutang atau untuk hutang yang jatuh temponya masih panjang.
Sedangkan anjuran sebagian
ulama untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada qurban dipahami untuk orang yang kesulitan melunasi hutang atau pemiliknya meminta agar segera dilunasi.
Dengan demikian, jika arisan qurban kita golongkan sebagai hutang yang jatuh temponya panjang atau hutang yang mudah dilunasi maka berqurban dengan arisan adalah satu hal yang baik. Wallahu a’lam.
Urunan Qurban Satu Sekolahan
Terdapat satu tradisi di beberapa lembaga pendidikan di daerah kita, ketika idul adha tiba sebagian sekolahan menggalakkan kegiatan latihan qurban bagi siswa. Masing-masing siswa dibebani iuran sejumlah uang tertentu. Hasilnya digunakan untuk membeli kambing dan disembelih di hari-hari qurban. Apakah ini bisa dinilai sebagai ibadah qurban?
Seperti yang kita pahami, berqurban adalah salah satu ibadah dalam islam yang memiliki aturan tertentu sebagaimana yang digariskan oleh syari’at. Keluar dari aturan ini maka tidak bisa dinilai sebagai ibadah qurban, alias qurbannya tidak sah. Di antara aturan tersebut adalah masalah pembiayaan.
Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa biaya pengadaan untuk seekor kambing hanya boleh diambilkan dari satu orang. Sehingga urunan qurban kambing dari beberapa orang, tidak bisa dinilai sebagai qurban kambing. Terkecuali jika kambing hasil urunan ini dihadiahkan kepada salah satu siswa atau guru, kemudian disembelih di sekolah.
Oleh karena itu kasus tradisi ’qurban’ seperti di atas tidak dapat dinilai sebagai qurban. Karena biaya pengadaan kambing diambil dari sejumlah siswa.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.